Universitas Alma Ata – Nih, Bro, di buku Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Imam Ibnu Katsir nyeritain cerita seru tentang Umar bin Abdul Aziz yang ketemu sama anjing. Penasaran sama kisahnya?
وقال محمد بن إسحاق: حدثني بعض أصحابنا قال: كنا مع عمر بن عبد العزيز في طريق مكة فجاء كلب فانتزع عمر كتف شاة فرمى بها إليه، وقال : يقولون: إنه المحروم
Muhammad bin Ishaq berkata: telah bercerita kepadaku sebagian sahabat kami yang mengatakan: “Kami pernah bersama Umar bin Abdul Aziz di jalanan Makkah, kemudian seekor anjing datang, maka Umar mencabut (bagian) bahu (atau paha depan) kambing(nya), lalu memberikannya kepada anjing tersebut.” Dikatakan: “Orang-orang yang bersamanya mengatakan: “Sesungguhnya anjing itu mahrûm” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz 7, h. 419).
Bro, sebelum kita bahas kisahnya, kita liat dulu apa arti kata “mahrûm”. Ini kata yang ada dalam ayat al-Dzariyat.
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Bro, dalam terjemah Al-Qur’an bahasa Indonesia, kata “mahrûm” diartikan sebagai “orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Tapi sebenernya, kata ini lebih kompleks dari itu. Sayyidina Ibnu Abbas dan Imam Mujahid memaknainya sebagai “al-muhârif,” yang artinya:
لا سهم له في بيت المال، ولا كسب له، ولا حرفة يتقوت منها
“Tidak (memiliki) bagian di Baitul Mal, tidak (punya) mata pencaharian, dan tidak (memiliki) pekerjaan yang (dapat memenuhi kebutuhan) makan(nya)” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 7, h. 418).
Bro, menarik nih, Sayyidah ‘Aisyah radliyallahu ‘anhuma memahami “al-muhârif” sebagai “orang yang kesusahan dalam mendapatkan pekerjaan.” Ada juga cerita Imam Abu Qilabah yang di Yamamah ada banjir, dan seseorang ngomong, “hadzâ al-mahrûm” (orang ini adalah mahrûm). Bahkan, Imam al-Sya’bi aja bingung maksudnya, dia bilang:
أعياني أن أعلم ما المحروم
“Telah melelahkanku (usaha untuk) mengetahui (makna atau maksud lafad) al-mahrûm” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 7, h. 419).
Benar banget, Bro! Kisah di atas tuh kayak contoh bagus cara menerapkan ajaran Al-Qur’an ke dalam kehidupan sehari-hari. Perintah baik dari Al-Qur’an itu nggak cuma buat dipahami dalam pikiran aja, tapi harus diwujudkan dalam perbuatan. Kadang kita bisa ngeh “ini baik” atau “itu baik” dalam pikiran, tapi kalo cuma di situ doang, lama-lama dilupain aja.
Apalagi, kalo kebaikan itu butuh pemahaman, makna, dan pengertian kaya yang dijelasin dalam kisah di atas. Buat ngeh bahwa anjing atau binatang itu masuk dalam kategori al-mahrûm, kita perlu pengetahuan. Tapi, yang lebih keren lagi, pemahaman itu harus didampingi sama budi yang baik dan hati yang dermawan. Jadi, nggak perlu mikir panjang atau kalkulasi berlebihan buat ngelakuin kebaikan, apalagi kalo itu buat binatang. Mantap, kan?
Bro, ke manusia aja kita sering mikirin banget sebelum kasih, padahal harta udah lebih dari cukup. Contohnya, ada orang kaya yang males banget bayar zakat atau pajak. Nah, ke binatang, kita seringnya cuma kasih makanan yang udah ga kepake lagi. Jadi, itu kayak pemberian yang bukan bener-bener pemberian deh.
Bahkan, kalo gaada binatangnya, makanan sisa itu bakal kita buang di tempat sampah. Jadi, intinya, kita sebenernya ngasih “sampah” buat dimakan. Pastinya, nggak semua orang kayak gitu, tapi kita bisa belajar buat kasih dengan lebih tulus, terutama ke binatang. Keren, kan?
Bro, ini menunjukkan bahwa kedermawanan kita masih jauh dari kata “tumbuh”. Kita masih stuck di ruangan kekikiran. Pengetahuan tentang “memberi” dan “berderma” yang kita punya cuma kayak hiasan di pikiran, dan kita nggak berusaha banget buat ubahin itu jadi tindakan. Bahkan, kita sampe nganggapnya kayak bukan apa-apa.
Makanya, kita butuh liat contoh dari Sayyidina Umar bin Abdul Aziz nih. Dia dengan tegas kasih daging bahu kambingnya ke anjing. Bukan makanan sisa, Bro. Dia ambil daging yang masih utuh dan langsung kasih ke anjing itu. Terus, orang-orang di sekitarnya bilang kalo anjing itu al-mahrûm. Keren, kan? Kita bisa belajar banyak dari tindakan kayak gini.
Bro, kalo binatang aja masuk kategori al-mahrûm, apalagi manusia, ya. Pertanyaannya sekarang, bisa gak kita lakuin kayak yang Sayyidina Umar bin Abdul Aziz contohin? Wallahu a’lam bish-shawwab… semoga kita bisa jadi lebih dermawan, ya.
Sumber:
- https://islam.nu.or.id/hikmah/sayyidina-umar-bin-abdul-aziz-dan-seekor-anjing-soJyW
- https://www.freepik.com/free-ai-image/los-reyes-magos-epiphany-cartoon-illustration_95020804.htm#fromView=search&page=1&position=12&uuid=6558b68d-27e4-4ec5-9371-4835db5aae42