Membuka Kembali Memori Pernikahan Beda Agama di Masyarakat Multikultural, Oleh: Lathifatul Izzah, Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Alma Ata Yogyakarta

Membuka Kembali Memori Pernikahan Beda Agama di Masyarakat Multikultural, Oleh: Lathifatul Izzah, Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Alma Ata Yogyakarta

Editor: Ikrob Didik Irawan

TRIBUNJOGJA.com – (5/4/2022) PERNIKAHAN umumnya bertujuan untuk membentuk kehidupan keluarga yang lestari, bahagia, utuh, dan harmonis. Dengan sendirinya ikatan pernikahan memerlukan kesesuaian dari kedua pihak yang akan menyatu dalam sebuah unit terkecil dalam masyarakat. Tidak mengherankan jika kesamaan latar belakang kedua pihak dianggap penting. Latar belakang dapat mencakup berbagai aspek dalam kehidupan manusia, misalnya etnis, sosial-ekonomi, pendidikan, ideologi, keyakinan, agama, dan mungkin masih banyak lagi aspek lain yang tergolong ke dalam dimensi horizontal dan vertikal masyarakat multikultural tersebut. Masyarakat multikultural, baik secara bahasa, golongan, budaya, ras, suku, agama, maupun keyakinan seperti Indonesia, pernikahan campur sulit dihindari. Tetapi pernikahan dari pasangan yang berbeda suku, apalagi berbeda etnis atau ras masih menjadi pertimbangan bagi pihak keluarga yang bersangkutan, belum lagi berbeda kayakinan atau agama. Bahkan pernikahan berbeda organisasi masyarakat, aliran atau mazhab keagamaan walaupun seagama masih diharapkan jangan sampai terjadi. Dalam masyarakat multikultural, pernikahan beda keyakinan biasanya terkait aspek kesakralan atau keabsahan hubungan suami-isteri dari sudut pandang agama. Secara umum, tidak ada satu agamapun yang menganjurkan pernikahan beda keyakinan. Pernikahan beda keyakinan dipandang sebagai tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh penganut keyakinan apapun.

Sekitar tahun 2000-an, pernikahan beda agama di Indonesia sempat menjadi perbincangan publik. Perbincangan tersebut ditandai dengan kehadiran buku Memoar Cintaku Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama (Ahmad Nurcholish: 2004) dan buku hasil penelitian Siti Musda Mulia dkk, 2005, Pernikahan Beda Agama Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisi Kebijakan. Kemudian wacana tersebut meredup, tetapi akhir-akhir ini mencuat kembali dan viral di media sosial, bahkan ada netizen yang sempat menulis di akun twitternya: “boro-boro nikah beda agama. Nikah seagama saja aku mikir 11 kali”.  Wacana tersebut diawali dengan unggahan foto akun facebook Ahmad Nurcholish (5/03/2022) prosesi pemberkatan pasangan pengantin ke-1.424 pria Katolik dan perempuan Islam di Gereja Semarang. Peristiwa tersebut memancing perhatian salah satu ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Fahrurrazi yang melarang pernikahan perempuan muslim dengan lelaki non-muslim. Beliau mengutip ayat al Qur’an surat Al Baqarah ayat 221 dan surat al Mumtahanah ayat 10. Selain beliau mengutip ayat, beliau juga mengutip UU No. 1 tahun 1974 pasal 44.

Setelah itu, wacana tersebut semakin ramai gaungnya dengan pernikahan staf khusus Presiden, Ayu Kartika Dewi (Islam) dan Gerald Sebastian (Katolik) di Gereja Katerdral Jakarta (18/03/2022). Kemudian kejadian tersebut memunculkan larangan dari KH Amirsyah Tambunan, intelaktual Muhammadiyah sekaligus sekretaris jendral MUI pada saat ini. Beliau merujuk pada UU No. 1 tahun 1974 dan UUD 1945. Beliau menegaskan pernikahan dikatakan sah, apabila pernikahan berdasarkan keyakinan dan agama masing-masing. Pernikahan beda keyakinan memang sudah terjadi pada masa Islam awal, Sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya pernah mempraktikannya. Rasulullah Muhammad SAW pernah menikah dengan perempuan Yahudi, bernama Shophia. Rasulullah juga pernah menikah dengan perempuan Kristen yang bernama Maria Qibtiyah. Sahabat Usman bin Affan menikah dengan Nailah binti Quraqashah al Kabiyah, perempuan Kristen. Huzaifah menikah dengan perempuan Yahudi di Madina. Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan perempuan Yahudi di Damaskus.  Praktik Rasulullah SAW dan para sahabatnya tersebut merupakan pernikahan beda agama antara lelaki muslim dengan perempuan non-muslim, bukan sebalikkanya.

Al Qur’an pun jelas sekali dalam memberi tuntunannya, sebagaimana tertera dalam surat al Ma’idah ayat 5, kurang lebih terjemahnya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (***)

Sumber : https://jogja.tribunnews.com/2022/04/05/membuka-kembali-memori-pernikahan-beda-agama-di-masyarakat-multikultural?page=2

1
Silahkan berkirim pesan kepada kami

Saluran ini khusus untuk informasi PMB, Untuk informasi selain PMB silahkan menghubungi Customer Service kami di nomer telepon.
0274-434-22-88
atau silahkan mengakses laman
https://almaata.ac.id/customer-service/
Terimakasih.