Editor: Ikrob Didik Irawan
TRIBUNJOGJA.com – (18/2/2022) ISTILAH relokasi bagi sebagian masyarakat masih dianggap sesuatu yang “angker”. Stigma negatif seringkali lekat dengan kata relokasi. Banyak yang menolak, namun banyak juga yang mendukung. Relokasi sendiri dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna penggabungan konsep tata ruang, ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Kebijakan relokasi yang dilakukan Pemerintah daerah tentu saja telah mempertimbangkan berbagai aspek baik itu sosial, ekonomi, budaya maupun berbagai aspek lainnya.
Baru-baru ini di Kota Yogyakarta sedang gencar-gencarnya penataan kawasan Maliobora dengan cara relokasi pedagang kaki lima yang selama ini identik dengan kawasan malioboro. Banyak kekhawatiran timbul baik dari pedagang sendiri, pelaku wisata, maupun masyarakat umumnya.
Dari sudut pandang pedagang, relokasi tempat usaha kaki lima ini pada kenyataannya memang akan sedikit banyak memperngaruhi tingkat pendapatan. Namun hal itu biasanya hanya bersifat sementara. Pola perilaku konsumen Indonesia cenderung mudah beradaptasi terhadap perubahan gaya, lokasi maupun semua hal yang terkait aktivitas belanja.
Relokasi pedagang kaki lima yang ada di kawasan Malioboro memang sudah merupakan hal yang tidak terelakkan. Dari sisi tata ruang di Yogyakarta, keberadaan pedagang kaki lima yang semakin banyak mulai sulit untuk dikondisikan dan dianggap mengurangi keindahan dan kenyamanan kawasan Malioboro.
Maka dari itu, Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Surat Edaran Nomor 430/1.131/SE.Disbud/2022 tentang pelaksanaan penataan kawasan khusus pedestrian di Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo, berusaha menata ulang kawasan Malioboro dengan cara melakukan relokasi pedagang kaki lima sepanjang Jalan Malioboro ke dua lokasi baru telah disediakan dan telah dilaksanakan sampai 7 Februari 2022 lalu. Pendekatan secara persuasif dilakukan melalui tim Satpol PP DIY agar proses relokasi berjalan tertib dan aman.
Lokasi relokasi baru berada di dua tempat yaitu Teras Malioboro Satu dan Teras Malioboro Dua. Teras Malioboro Satu berdiri dilahan seluas 800 m2 dan terletak di sebelah selatan kawasan Malioboro di Jalan Margomulyo atau barat Pasar Beringharjo.
Lokasi ini merupakan bekas Biokop Indra yang merupakan salah satu bioskop terkenal pada jaman Belanda. Sedangkan Teras Malioboro Dua berdiri dilahan seluas 1000 m2 dan terletak di sebelah utara kawasan Malioboro yang merupakan bekas gedung Dinas Pariwisata DIY. Teras Malioboro merupakan perwujudan kepedulian Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka menata dan sekaligus mensejahterakan para penjual kaki lima di kawasan Malioboro. Terlaksananya relokasi penjual kaki lima diharapkan adanya kenyamanan baik pedagang maupun konsumen saat berbejanja dan menikmati kawasan Malioboro.
Pada saat penulis berkunjung ke lokasi terlihat bahwa Teras Malioboro Satu sudah cukup memenuhi standar tempat belanja. Terdapat beberapa stand yang telah disediakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dan sudah tertera pula nama pemilik stand tersebut.
Sebagian besar sudah ditempati pedagang. Fasilitas penunjang aktivitas perbelanjaan yang ada juga terlihat lumayan lengkap. Toilet yang bersih, tersedianya lift dan escalator untuk mendukung kenyamanan pengunjung. Stand-stand sudah tertata rapi menurut jenis dagangan yang ditawarkan baik itu alas kaki seperti sandal/sepatu, pakaian, kerajinan, maupun makanan dan minuman.
Dari sanalah diharapkan terciptanya kejatuh cintaan pengunjung kawasan wisata Malioboro karena adanya kemudahan dan kenyamanan dalam mencari barang maupun oleh-oleh yang dicari. Selain fasilitas-faslitas yang ada tidak ketinggalan juga disediakan spot foto selfie unik dan menarik di sudut-sudut Teras Malioboro Satu dengan tema outdoor yang bisa digunakan para pengunjung dalam mengabadikan momen romastis dan penuh kehangatan khas Kota Yogyakarta.
Kenangan-kenangan romantis dan penuuh kehangatan tersebut akan selalu lekat kepada semua pengunjung sesuai dengan slogan yang terpampang besar di salah satu titik Teras Malioboro Satu, “Bagi setiap orang yang pernah tinggal di Jogja bahwa setiap sudut kota di Jogja mengandung romantik”.
Dilihat dari penampakannya pusat perbelanjaan ini akan mempunyai prospek yang bagus untuk menjadi kawasan politan di Yogyakarta. Memiliki tema khas jawa akan tetapi tidak meninggalkan konsep modern. Hal ini sama sepertu yang telah diterapkan terlebih dahulu di Kota Bandung dengan kawasan J-walk.
Pemerintah Kota Yogyakarta sepakat dengan komunitas yang ada untuk menerapkan konsep low cost, low price and high quality. Artinya bahwa sasarannya adalah semua konsumen baik itu kalangan bawah, menengah hingga atas. Hal ini sedikit berbeda dengan kawasan J-walk di kota Bandung yang terkesan lebih untuk kalangan menengah ke atas.
Pemerintah Kota Yogyakarta bersama seluruh komunitas di Malioboro dan berusaha mengadopsinya konsep low cost, low price and high quality tersebut dengan menyediakan fasilitas sarana prasarana yang lengkap dan mumpuni, menyediakan barang berkuaitas namun tetap memasang harga yang wajar, termasuk juga tarif parkir yang jelas dan sesuai aturan.
Hal ini sesuai dengan slogan warga Yogyakarta “urip iku sajatine kudu urup” yang jika di maknai dalam Bahasa Indonesia berarti hidup itu seharusnya memberi pencerahan bagi sekitarnya seperti nyala api.
Pencerahan baik itu untuk pihak yang mencari rejeki di kawasan Malioboro agar mendapatkan rejeki yang lebih baik, pencerahan pula bagi pengunjung yang datang agar selalu bahagia dan selalu rindu untuk pulang kembali lagi berwisata ke Yogyakarta karena seperti dalam slogannya “Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan”. Semoga keberadaan Teras Malioboro ini bisa memberikan kenyamanan baik itu kepada seluruh masyarakat, pedagang yang direlokasi maupun kepada pengunjung yang datang ke Yogyakarta. Semoga kawasan Malioboro semakin nyaman kedepannya seperti Yogyakartaku yang selalu Berhati Nyaman. (*)
Sumber : https://jogja.tribunnews.com/2022/02/18/dunia-wisata-baru-teras-yogyakarta?page=2