Editor: Ikrob Didik Irawan
TRIBUNJOGJA.com – (23/2/2022) STUNTING adalah kondisi dimana anak memiliki tinggi badan yang lebih rendah daripada rata-rata tinggi badan anak-anak seusianya. Kondisi stunting dapat dipastikan dengan membandingkan panjang badan/ tinggi badan anak dengan standar baku grafik pertumbuhan dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO). Apabila panjang badan/ tinggi badan anak menurut umurnya berada di bawah garis merah atau hitam pada grafik tersebut, maka anak dikatakan mengalami stunting.
Persoalan stunting tidak hanya sekedar masalah ketidaknormalan tinggi badan saja. Menurut berbagai penelitian, masalah stunting juga berhubungan dengan berbagai dampak jangka pendek dan jangka panjang yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka di masa dewasa.
Anak yang stunting terbukti lebih berisiko untuk mengalami keterlambatan perkembangan, kapasitas belajar yang buruk, lebih rentan terhadap penyakit dan tingkat kecerdasan yang kurang. Pada masa dewasa, anak yang mengalami stunting akan memiliki perawakan tubuh yang pendek, berisiko mengalami penyakit kronis seperti hipertensi dan diabetes mellitus, dan produktifitas kerja rendah, sehingga pendapatan ekonomi juga berkurang.
Kehamilan remaja merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan stunting. Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada perempuan yang usianya kurang dari 20 tahun. Perempuan yang hamil di usia remaja diketahui memiliki risiko 8 kali lebih besar untuk memiliki anak yang stunting, dibandingkan dengan peempuan yang telah dewasa.
Perempuan yang mengalami kehamilan di usia remaja cenderung tidak mampu menjamin anaknya mendapatkan nutrisi yang cukup. Janin yang ada di dalam kandungan mereka bersaing dengan tubuh mereka sendiri yang juga masih dalam masa pertumbuhan untuk mendapatkan nutrisi sehingga kebutuhan nutrisi janin cenderung tidak terpenuhi.
Dengan usia mereka yang masih remaja, mereka belum siap secara psikologis untuk merawat anak mereka setelah lahir. Stigma dan penolakan keluarga maupun sekolah terhadap mereka ketika mengalami kehamilan remaja, ditambah dengan pasangan yang juga cenderung belum siap secara finansial akan meningkatkan stress psikologis. Dengan akumulasi dari berbagai persoalan tersebut, perempuan yang mengalami kehamilan remaja memilki risiko yang tinggi untuk memiliki anak stunting.
Dengan adanya pandemi covid-19, diperkirakan angka kehamilan remaja semakin meningkat. Berdasarkan laporan The Global Girlhood Report 2020, terdapat peningkatan jumlah kehamilan remaja sebanyak 1 juta kasus di dunia. Di Provinsi DIY, sebanyak 700 dispensasi kawin yang dikabulkan di pengadilan agama, 80 %-nya disebabkan karena kehamilan di luar nikah (Kumparan, 13 Januari 2020). Di Malang, Jawa Timur, dimana angka pernikahan dini di tahun 2020 meningkat 100 persen, dimana salah satu penyebabnya adalah karena hamil di luar nikah (Liputan 6.com, 27 September 2020). Diperkirakan, hal yang sama juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.
Berdasarkan penelitian, kehamilan remaja di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya ialah karena pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas yang kurang, perilaku seksual aktif sebelum menikah (seks-pranikah), dan media informasi yang memuat konten seks dan pornografi yang semakin menjamur. Sementara itu, kegiatan belajar di rumah yang memberikan keleluasaan bagi anak untuk bergaul di lingkungan sekitar, termasuk pacaran, diperkirakan menjadi pemicu meningkatnya kehamilan remaja di masa pandemi covid-19.
Berdasarkan fenomena di atas, alangkah baiknya kita bersama-sama mengambil peran untuk mencegah semakin meningkatnya kehamilan remaja, khususnya di masa pandemi covid-19 ini. Sebagai orang tua, teman, guru, atau saudara dari anak-anak remaja di sekitar kita, kita bisa mengambil langkah untuk menekan faktor-faktor yang bisa menyebabkan kehamilan remaja di atas sehingga kasus kehamilan pada anak-anak remaja di sekitar kita tidak terjadi. Dengan begitu, secara tidak langsung kita juga telah ikut menekan angka kejadian stunting dan mencegah generasi penerus bangsa dari kualitas hidup yang rendah di masa yang akan datang. (*)